
LENSANAGA.ID,LENSA SEJARAH-Saya sudah mendengar nama Pak Harto, ketika saya berada di Palagan Ambarawa, pada bulan Desember 1945. Pada waktu itu, pasukan lnggris yang mendarat di Semarang, terus ke Magelang dan mundur kembali ke Ambarawa dikepung oleh pasukan saya yang berasal dari Banyumas di sektor Barat dan lasykar Mataram yang dipimpin oleh Pak Harto di sektor selatan. Di sinilah saya mulai “kenal” dengan kagum kepada Pak Harto, dan pasukan yang beliau pimpin. Bagaimana tidak kagum. Kalau pasukan yang saya pimpin berani menghadang lawan, itu hal yang biasa, sebab pasukan saya semuanya sudah terlatih. Anak-anak buah saya adalah bekas PETA, Heiho dan KNIL, serta perlengkapan kami hampir sama saja dengan apa yang dimiliki oleh musuh, bahkan kami pun membawa empat pucuk meriam. Tetapi lasykar Mataram itu? Senjatanya tidak lengkap dan pakaiannya pun tidak teratur atau tidak berseragam. Namun dalam kontak senjata di Banyubiru pada tanggal 8 Desember 1945 dari pukul15.00-17 .00 itu lasykar Mataram tersebut ternyata mampu menahan pasukan Inggris, sehingga mereka mundur kernbali ke Ambarawa.
Peristiwa itu memberikan kesan khusus di hati saya terhadap Pak Harto. Keberhasilan itu pastilah ditentukan oleh kepemimpinan beliau. Sebab, kepemimpinan seseorang sangat menentukan berhasil tidaknya sesuatu tugas yang dilimpahkan kepadanya dengan dukungan anak buahnya. Mulai saat itu timbul kesan pada saya bahwa Pak Harto adalah figur pemimpin yang tangguh dan berbobot. Sayangnya pada masa itu saya tidak dapat langsung berkenalan dengan Pak Harto, sebab situasi memang tidak memungkinkan. Kami masing-masing konsentrasi penuh dalam menghadapi pertempuran dan serangan-serangan pesawat musuh yang sewaktuwaktu memberondong kami dari atas. Walhasil di Ambarawa saya hanya mendengar nama Pak Harto dan melihat beliau dari jauh saja.
Kesan saya berkembang terus setelah bertemu langsung dengan Pak Harto. Pertemuan yang pertama itu terjadi pada waktu penumpasan Darul Islam di Tegal dan Brebes tahun 1952-1954. Ketika itu Pak Harto menjadi atasan saya, karena saya menjabat sebagai komandan batalyon di Purworejo, dan beliau sebagai Komandan Gerakan Banteng, yang menumpas Darul Islam. Pak Harto sering memberikan briefing. Pandangan-pandangan yang beliau berikan didalam briefing itu semakin memberikan keyakinan pada saya, bahwa Pak Harto adalah seorang pemimpin yang mempunyai pendirian yang sangat teguh dalam menumpas gerombolan tersebut. Beliau tidak pernah merasa gentar ataupun goyah didalam menghadapi tantangan yang bagaimanapun beratnya. Operasi-operasi terhadap Darul Islam itu telah melahirkan sikap percaya yang semakin kuat baik bagi saya terhadap beliau ataupun sebaliknya. Pola hubungan antara atasan-bawahan yang demikian telah mengesankan saya, sehingga saya pakai sebagai pedoman didalam hubungan saya dengan para bawahan.
Pada tahun 1958 saya dipanggil oleh Pak Harto yang ketika itu sudah menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Oleh beliau saya diminta untuk membantu Pak Yani dalam mengatasi masalah PRRI di Padang. Kepada saya antara lain ditugaskan untuk menyusun batalyon dengan komposisi anggotanya yang meliputi kader-kader baru maupun lama. Dalam proses penyusunan itu, Pak Harto juga mendengar dan menerima usul saya untuk merekrut beberapa anggota dari kader yang lama dalam penyusunan Batalyon Banteng Raiders.
Setelah operasi PRRI itu selesai, saya bertemu kembali dengan Pak Harto, yaitu dalam Operasi Dwikora. Ketika itu saya menjadi bawahan langsung dari beliau. Pak Harto adalah Panglima Kostrad dan saya sebagai Komandan Brigade Infantri IV Kodam Diponegoro yang diperbantukan di Kostrad. Tugas yang dibebankan kepada saya adalah memimpin pasukan yang akan didaratkan di Malaysia. Agar tugas itu dapat berhasil dengan baik, maka kami mengadakan ber bagai latihan di Banyumas. Dan Pak Harto langsung memeriksa latihan tersebut; Pak Harto mengamati latihan-latihan kami baik siang maupun malam. Kadang-kadang kalau kebetulan tidak ada latihan, kami duduk dengan santai berbincang-bincang dengan beliau. Pembicaraan berkisar pada one way ticket, artinya berangkat ke Malaysia hanya satu kali menyebrang, sesudah itu tidak kembali. Mengapa timbul kesan seperti itu? Karena kita menghadapi lawan yang besar dan tangguh. Oleh sebab itu latihan-latihan kami lakukan dengan sungguh-sungguh. Kami latihan sampai enam bulan lamanya; dalam jangka waktu itu Pak Harto terkadang meninggalkan kami, akan tetapi kemudian datang lagi. Pak Harto teru menunggu latihan-latihan kami sampai pada waktu latihan di pantai selatan Banyumas.
Demikianlah setelah selesai menempuh berbagai latihan itu, saya, yang pada waktu itu berpangkat kolonel, melapor kepada Pak Harto yang sudah berpangkat mayor jenderal, bahwa kami siap untuk berangkat ke Sumatera Timur dalam rangka tugas Dwikora. Ini merupakan daerah etape terakhir sebelum kami didaratkan di Malaysia. Di pantai Timur Sumatera ketika itu masih ada dua brigade lainnya, yakni Brigade Witarmin, yang berinduk pasukan di utara (Pangkalan Brandan), dan Brigade Musa di selatan (Pekan Baru). Setiap brigade berkekuatan penuh 5000 orang dan dilengkapi dengan peluru kendali ENTAC.
Sebelum pendaratan dilakukan, Pak Harto datang dan memeriksa pasukan serta berdialog langsung dengan para prajurit satu per satu. Saya masih ingat yang ditanyakan oleh beliau antara lain:
“Di mana keluargamu sekarang dan bagaimana perasaanmu mau bertempur?”
Dialog-dialog tersebut dilakukan Pak Harto sampai pada regu yang paling kecil; bahkan beliau ikut tidur di barak-barak prajurit. Di situlah kehebatan Pak Harto; beliau bersatu dengan anak buah, sehingga antara pemimpin dan bawahan timbul rasa saling percaya-mempercayai yang cukup dalam. Namun rencana pendaratan tersebut kemudian terpaksa dibatalkan, karena meletusnya peristiwa G-30-S/PKI. Dalam hubungan ini Pak Harto mengirim telegram dari Markas Kostrad agar saya membawa Brigade IV/Diponegoro ke Jawa Tengah.
Waktu itu saya masih bertanya-tanya, mengapa ada perubahan rencana tersebut. Lalu saya menghadap Pak Harto di Markas Kostrad Jakarta pada tanggal 13 Oktober 1965. Saya datang sekitar pukul 15.00 dan Pak Harto sedang tiduran di veldbed memakai kaos oblong. Pak Harto langsung bertanya:
“Kamu sudah tahu situasinya?”
Kemudian saya sampaikan hal-hal yang saya ketahui, dan Pak Harto melengkapi saya dengan informasi-informasi yang belum saya ketahui. Setelah itu saya ditugaskan untuk menyusul Sarwo Edhie yang sedang menumpas PKI di Jawa Tengah.
Berbeda dari komandan lainnya, Pak Harto menanyakan terlebih dahulu, apakah saya sanggup melaksanakan tugas tersebut. Komandan yang lain tidak bersikap demikian, karena sudah pasti nada instruksinya adalah sebagai berikut:
”Kamu saya perintahkan berangkat!”
Di situlah kelebihan Pak Harto yang saya rasakan, sehingga saya sanggupi apa yang ditugaskan beliau. Dengan pola kebijakan yang demikian itu, maka tugas tidak terasa sebagai beban. Saya tidak merasakan tugas itu semata-mata sebagai keinginan komandan saja; karena saya juga mempunyai keinginan untuk melaksanakan tugas tersebut dengan baik. Pola kepemimpinan seperti itu menurut saya sangat bijaksana dan dapat melahirkan solidaritas dan kesamaan pandangan atas tugas-tugas yang terbentang di muka kita.
Baru seminggu saya di Solo, Pak Harto datang menginspeksi. Dan pada waktu bertemu dengan saya, beliau tidak bertanya macammacam. Yang ditanyakan beliau justru masalah-masalah logistik; soal makanan selalu menjadi perhatian utama beliau.
Dalam menumpas PKI, Pak Harto memang tidak mau kompromi. Bung Karno sendiri menganggap sikap Pak Harto tersebut sebagai suatu sikap yang koppig (keras kepala). Sikap Pak Harto yang demikian itu dapat kita lihat dalam kasus matinya Aidit. Berkaitan dengan kasus ini pada tanggal 23 November 1965 saya melapor kepada Pak Harto di Gedung Agung, Yogya. Pertama-tama saya kemukakan kesalahan saya, yaitu saya telah membunuh Aidit. Saya kemukakan pula bahwa kalau saya dianggap salah oleh Bung Karno dan mau dihukum gantung, saya sudah siap untuk dihukum, bukan orang lain.
Ketika itu Pak Harto menjawab:
“Tidak! Saya yang akan mempertanggungjawabkannya”.
Mulai saat itulah saya menilai bahwa sikap keras Pak Harto, tidaklah untuk mempertahankan kepentingan pribadinya, tetapi justru memperlihatkan suatu sikap seorang pemimpin yang bertanggungjawab, demi kepentingan nasional. Seandainya beliau bukan seorang komandan yang mau bertanggung jawab, sudah pasti risiko apapun akan menjadi beban dan tanggungjawab saya. Di sinilah nampak jelas kebesaran Pak Harto, dan saya berutang nyawa pada beliau.
Apa yang saya lakukan itu, bukanlah dengan maksud untuk mempersulit keadaan ataupun kedudukan Pak Harto sebagai Panglima Kostrad. Pak Harto memang tidak pernah memberi perintah kepada saya untuk membunuh Aidit. Hal itu saya lakukan atas inisiatif saya sendiri, karena adanya beberapa pertimbangan tertentu. Pertama, rasa dendam saya terhadap orang-orang PKI dalam peristiwa Madiun pada tahun 1948, dimana saya hampir mati dibantai mereka. Kedua, hati nurani saya mengatakan, jika Aidit ini saya tawan dan saya serahkan hidup-hidup, nanti sudah pasti ia akan bebas, dan kalau bebas, maka perjalanan sejarah akan menjadi lain. Karena itu saya melihat mati hidupnya Aidit berkaitan erat dengan persoalan sejarah bangsa Indonesia. Jadi menurut saya lebih baik Aidit itu dihukum mati lebih dahulu dan kalau saya nanti dianggap salah, saya bersedia mati untuk itu, yang penting sejarah bangsa ini tertolong!
Sumber : http://soeharto.co/yasir-hadibroto-tangguh-dan-berbobot
(Kolonel Yasir Hadibroto Komandan Brigade IV / Diponegoro)